Kumpulan Nasihat

Home AboutRSS

Ibu

  • kehidupan

Kuhabiskan 20 menit ini, untuk mengingat kebaikan ibuku. Tulisan ini akan sangat kacau, karena aku mengumpulkan ingatan yang sudah 20 tahun lamanya.

Televisi

Ibu, ingatan paling awal diriku tentangmu adalah anak yang sangat nakal. Ibu, aku masih ingat jelas, aku sering bertanya kepadamu mengapa TV kita rusak, dirimu menjawab masih diperbaiki. Aku bahkan lupa wujud TV lama kita yang rusak itu, tapi aku masih ingat betul, waktu itu bapak membeli TV tabung “LG Miracle II”. Setiap kali pulang dari TK, aku selalu langsung menuju TV kedua yang pernah kita punya, pukul 10 WIB ada Telletubies di Indosiar.

Motor

Dulu aku juga ingat, bapak sempet punya motor GL 100 warna merah (?), yang entah aku pernah mengendarainya sewaktu kecil atau tidak. Tapi yang pasti aku selalu merepotkan ibu dengan bertanya di mana motor kita waktu itu. Entah rusak, entah dijual untuk menutupi hutang, entahlah. Pernah sekali, di perempatan dekat pasar, ketika aku bertanya hal yang sama, ibu bilang sambil menunjuk sebuah toko di sudut perempatan.

“Diperbaiki di sana”, katanya.

Semakin aku dewasa, aku jadi tahu bahwa yang ditunjuknya adalah wartel, bukan bengkel.

Mainan

Aku pasti sudah bisa berjalan dan berlari, ketika kakakku dan mungkin ibuku mengajakku ke pasar. Aku merengek, mengingat bahwa sepupuku memiliki mainan baru. Sepupuku dari kalangan orang yang lebih mampu. Mainan yang dia miliki sepertinya hanyalah mobil-mobilan, tetapi bentuk, warna, jenis plastiknya, lebih menarik dari mainan yang pernah aku lihat sewaktu kecil.

Ketika di pasar, aku juga ingin punya juga mainan itu. Walaupun, saat itu aku sudah tahu bahwa tidak mungkin ada yang jual di sana. Tapi aku tetap ingin beli mainan, seburuk apapun itu, sejelek apapun itu, semurah apapun itu. Karena toh, dulu aku tak ingat mainan apa yang aku punya sebelum aku duduk di bangku TK. Entahlah, tiba-tiba aku meraung ingin dibelikan mainan yang waktu itu ada di depanku.

Ya! Truk plastik di bawah ini. Aku tak yakin bahwa yang kuingin dulu lebih baik dari ini. Tetapi aku harus menangis keras hanya untuk memilikinya. Duh malunya…

Pasti kakakku malu, pasti ibuku malu… Aku harus meraung sejadi-jadinya hanya untuk mainan ini. Mainan yang sekarang bisa aku beli berkarung-karung banyaknya. (Alhamdulillah). Keluargaku tak cukup uang waktu itu.

Api

Jika mengingat api, aku langsung terjun ke lorong waktu. Waktu itu, aku melihat kakakku berjalan di atas api bekas membakar sampah. Api hampir padam, kakakku menginjak api tersebut dengan sandal. Api belum padam. Aku yang masih ingusan, mencobanya. Waktu itu aku bermain tanpa sandal. Aku berjingkrak layaknya kuda. Komat-kamit mengucapkan apa yang kurasakan.

“panas”

Lagi-lagi orang tuaku, ibuku harus kebingungan karena tingkah anaknya ini. Diberilah telapak kakiku ini macam-macam ide. Direndam air garam, diolesi pasta gigi, dan entahlah apa lainnya. Aku tak ingat apakah dibelikan obat atau tidak.

Je me souviendrai, De tes yeux jusqu’à mon dernier jour, Maman, mon plus tendre amour.

:)